Dibalik Sebuah Kritik

>> Senin, 04 Agustus 2008

By Yanie
Tujuan terpenting dari kritik itu adalah perbaikan. Fungsinya adalah untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan dan mengarahkan pada tujuan yang seharusnya. Kritik membuka mata kita terhadap kekurangan dalam perspektif yang berbeda lalu menutupi kekurangan itu dan berupaya mencapai kesempurnaan. Saya katakan berbeda adalah karena biasanya kritik itu datang dari luar lingkaran struktural suatu lingkungan atau komunitas tertentu baik sosial maupun institusi, namun concern terhadap perjalanan komunitas tersebut. Patutlah berbangga mereka yang komunitasnya memiliki pemerhati semacam ini yang menandakan bahwa mereka itu punya pengaruh. Kritik tidak sekedar mengumbar kesalahan atau bahkan aib secara membabi buta, alih-alih melakukan perbaikan, justru yang terjadi sebaliknya, merusak citra, jatuhnya moral dan mental penggerak komunitas yang akhirnya kontraproduktif terhadap upaya perbaikan. Oleh karena itu hendaklah kritik dilakukan dengan cara yang elegan, tepat sasaran dan proporsional. Saya menyebutnya sebagai kritik yang konstruktif. Bagaimana mendesain sebuah kritik yang konstruktif ? syarat utamanya menurut saya adalah menanamkan semangat perbaikan. Sebagaimana dalam konteks ibadah, niat itu mendahului amal. Akseptabilitas dan kualitas amal seorang mu’min sangat bergantung pada kebersihan niatnya, apakah benar-benar untuk menyembah Allah atau ada orientasi lain. Begitu pula dalam hal kritik, tanpa adanya semangat tersebut sebuah kritik akan terkesan mencari-cari kesalahan. Harus kita sadari bahwa kritik bukanlah sarana mencari “kambing hitam” ataupun senjata debat kusir yang tidak berujung untuk sekedar menunjukkan kehebatan dialektika tanpa solusi. Syarat kedua, terletak pada muatan kritik yang akan disampaikan. Kritik tersebut hendaknya punya bobot dan bersifat fundamental. Sebaliknya, janganlah kritik hanya di pakai untuk sekedar meramaikan suasana tanpa memikirkan sejauh mana ia menyentuh pokok permasalahan. Jadi pengkritik yang baik harus bisa membedakan mana sisi yang substantif atau layak untuk dikritisi dan mana yang tidak. Ketidakcermatan dalam menilai kritik yang substansi tidak akan memajukan, sebab tidak ada perubahan signifikan yang terjadi. Di samping itu orang lain bisa mengukur kualitas intelektual sesorang dari kualitas kritik yang disampaikannya. Mengenai hal ini saya punya cerita menarik, dalam sebuah musyawarah umum organisasi kemahasiswaan dimana saya adalah salah satu pengurusnya, yang pada saat itu mengagendakan pembahasan AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) organisasi. AD/ART organisasi ini tersusun atas tiga bagian, mukadimah (pendahuluan), batang tubuh, dan penutup. Uniknya dalam pembahasan anggaran dasar tersebut perdebatan sengit terjadi pada mukadimah yang notabene sekedar kalimat pembuka namun para pengkritisi kami begitu antusias “mempercantik” mukadimah yang sebenarnya tidak merubah makna dasarnya. Pihak yang dikritisi juga sebagiannya terjebak tidak mau kalah debat. Akibat dari debat mukadimah yang berlarut itu, pembahasan terhadap batang tubuh anggaran dasar yang menjadi substansi pokok organisasi menjadi tidak optimal dan terkesan terburu-buru karena waktu yang terbatas. Memang tidak mudah untuk memberikan kritik yang benar-benar berkualitas. Pengkritik yang memiliki pengetahuan yang baik terhadap obyek permasalahan mesti berbeda bobot kritiknya dengan mereka yang tipis atau buta pengetahuannya tentang apa yang dikritisi. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam mengkritisi, jika tidak ingin disebut asal ngomong atau asbun (asal bunyi). Syarat yang ketiga adalah etika dalam menyampaikan kritik. Bangsa kita adalah adalah bangsa yang berbudaya sangat mengedepankan tata krama dalam berinteraksi. Kaum yang menyebut diri mereka intelektual bergelar mahasiswa saya kira cukup paham tentang ini. Kritik itu sendiri sangat sensitif, sebab ia berbicara tentang kekurangan atau kelemahan pihak tertentu secara langsung atau tidak langsung. Oleh sebab itu menurut saya etika dalam menyampaikan kritik perlu kita bangun dan biasakan dalam diri kita, tidak hanya pada aspek bahasa yang santun tapi juga pemilihan momen yang tepat. Adalah fitrah bagi manusia merasa senang di hargai. Sebaliknya, siapa pun akan tersinggung jika dicecar kritikan dengan menggunakan kata-kata kasar, terlebih jika hal itu dilakukan ditempat yang disaksikan oleh banyak orang. Cara tersebut sama sekali tidak akan mendorong pada perubahan positif, justru yang terjadi adalah reaksi defensif/pembelaan dari mereka yang menjadi sasaran kritik. Sebagai pengkritik, harus sadar bahwa bagi sebagian besar manusia harga diri dan rasa malu layaknya nyawa bagi mereka. Dengan kata lain cara semacam itu tidak tepat bahkan cenderung mengarah pada pembunuhan karakter. Sekalipun kritik itu adalah fakta yang nyata, tidak setiap orang secara lapang dada mengakui kelemahannya setelah “dipermalukan” di depan orang banyak. Dan pada akhirnya perbaikan tak kunjung terwujud. Jadi, kritik yang konstruktif mesti dilengkapi dengan “kemasan” yang baik. Kita akan memulai strategi penyampian kritik ini dari aspek bahasa. Tidak salah jika ada pepatah mengatakan lidah itu ibarat pedang bermata dua atau kata-kata bisa membunuh. Keliru dalam memilih bahasa kritik akan menimbulkan ketersinggungan yang berakibat pada penolakan. Mungkin kita perlu merenungi lebih dalam ayat Allah yang berbunyi : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peringatan yang baik. Dan bantahlah mereka dengan (bantahan) yang lebih baik.. "(QS An-Nahl : 125). Para pengkritik perlu memoles sebuah kritik sedemikian cantik hingga mereka yang dikritik tidak merasa dikritik namun mampu menyadarkan akan kelemahannya tanpa menimbulkan ketersinggungan. Caranya, berilah apresiasi positif secara tulus di awal, atas apa yang telah dilakukan oleh komunitas yang di kritisi, gantilah kata-kata negatif yang bernada pesimis dan menyudutkan dengan menyebutkan prestasi-prestasi yang menurut anda telah dicapai sebesar apapun itu. Pada saat itulah mereka akan membuka pintu bagi anda. Lalu, mulailah memberikan dorongan dan harapan perbaikan atas apa yang menjadi bahan kritik anda. Saya yakin anda akan mendapat apresiasi yang baik pula dari mereka yang anda kritik. Berikutnya, mengenai momen kritik, sangat berkaitan erat dengan situasi yang tepat dalam menyampaikan kritik agar dapat diterima dan direspon dengan baik. Cobalah sejauh mungkin menghindari cara menyampaikan kritik secara terbuka, jika anda bisa menyampaikannya secara personal. Karena pendekatan yang terakhir ini jauh lebih friendly dan memberi kesan bahwa anda respect terhadap subyek dan sangat mengharapkan perbaikan, bukan bermaksud mencari popularitas. Penyampaian secara terbuka adalah upaya terakhir jika pendekatan personal tidak direspon secara baik. Upayakan agar penyampaian tersebut dilakukan melalui mekanisme yang tersedia untuk itu. Dalam komunitas atau institusi yang terkelola dengan baik mestinya memiliki fasilitas yang mengakomodasi masukkan maupun kritik dari para anggotanya atau orang-orang yang bersimpati padanya. Apapun hasilnya, paling tidak itikad baik itu sudah kita tunjukkan. Bahwa kekeliruan harus diluruskan, bahwa kebenaran harus disampaikan. Inilah sekilas tentang sebuah kritik. Sekali lagi, Ia bukanlah momok atau musuh tapi alat bantu yang mendorong untuk menjadi lebih baik. Bangsa yang besar adalah bangsa yang terbuka dalam menerima kritik oleh rakyatnya begitu pula dalam kemajemukkan masyarakat dengan berbagai komunitasnya,. Kesiapan terhadap kritik menandakan kedewasaan suatu komunitas dan orang – orang yang ada di dalamnya.
Bangunlah budaya kritis dalam kehidupan sosial dan intelektual kita. Karena ia menunjukkan kepedulian dan kepekaan kita terhadap lingkungan serta membawa pada suasana yang dinamis yang diliputi semangat kemajuan. So, dikritik, siapa takut ? ^_^


Allahu ‘alam bishowab.



Write with your heart


0 komentar:

Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan

Tapi hebat dalam tindakan

(Confusius)

  © Blogger template Sunset by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP